Saya kembali membaca sebuah buku kecil berjudul utama Satrio Piningit, terbitan Gramedia Pustaka Utama (1999). Buku karangan Kusumo Lelono, yang hadir di tengah situasi sosial-politik Indonesia yang sedang gegap gempita menyongsong era baru reformasi, zaman penuh harapan yang diyakini banyak kalangan akan melahirkan Satrio Piningit dalam wujud nyata.
Mengutip manuskrip kuno tentang Ramalan Prabu Jayabaya Raja Kediri pada abad 12 pengarang mengawali bukunya dengan mengetengahkan kembali pembagian zaman sebagaimana disebutkan oleh Jayabaya: zaman Kalabendu, Kalasuba, Kalasumbaga, dan Kalasurasa. Kalabendu adalah masa ketika Indonesia dicirikan dengan tiga keadaan. Artati, masyarakat hanya mengejar harta (uang) dalam hidupnya. Nistana, banyak kemelaratan yang terjadi. Jutya, kejahatan marak di mana-mana.
Jika tiga ciri itu digabungkan, menurut saya, maka zaman Kalabendu kurang lebihnya begini. Situasi dan kondisi masyarakat Indonesia saat kekayaan (material dan finansial) menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan hidup. Orang kemudian beramai-ramai memburu kekayaan, tak peduli bagaimana cara mendapatkannya. Bila cara yang halal tak bisa ditempuh, maka banyak orang yang akan memilih cara haram semisal korupsi. Tak terkecuali, orang-orang muda yang pintar dan rupawan. Hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang hidup kaya raya. Sebagian besarnya malahan hidup dalam kemelaratan. Dan seiring dengannya, kejahatan selain korupsi marak pula terjadi di mana-mana: pembabatan hutan secara ilegal, narkoba, penyelundupan, penipuan berkedok investasi, pencurian dengan kekerasan, premanisme, pembunuhan jurnalis dan aktivis seperti terjadi pada diri Munir, dan terorisme.
Dalam situasi yang carut marut seperti itulah, muncul Satrio Piningit, yang kini masih disembunyikan oleh Tuhan. Bait-bait ramalan Jayabaya mengatakan: Satria bayangkari negara yang bersuci diri dengan sungguh-sungguh / membangunkan jiwa sejati / mengikuti jejak satria terpilih / menata negara menata praja / menuju kejayaan Nusantara.
Masih ada dua zaman lagi setelah zaman Kalasuba. Dalam zaman Kalasumbaga konon Indonesia akan dipimpin oleh seorang Ratu yang cantik jelita Ratu Asmarakingkin. Sangat boleh jadi, karena sekarang pun banyak politisi perempuan yang cantik-cantik yang berasal dari pemenang kontes putri ayu, model, artis, dan presenter berita. Nah, di zaman Kalasurasa, muncul tiga pemimpin pada masa yang bersamaan (tiga matahari kembar), masing-masing berkedudukan di Bumi Kepanasan, Bumi Gegelang, dan Bumi Tembalang. Setelah 30 tahun, ketiganya berselisih dan sama-sama musnah. Kala itu, para pemimpin daerah memisahkan diri dari pemerintah pusat, karena tidak ada lagi pemimpin pusat yang berwibawa. Datanglah menyerang kekuatan lokal dari Nusa Srenggi. Beberapa tahun kemudian, tiba balatentara dari Rum (Uni Eropa), memerangi pemimpin Nusa Srenggi, dan mengangkat pemimpin baru yang masih keturunan Sultan Herucakra (pemimpin boneka?).
Semuanya terpulang pada diri kita sendiri, apakah akan memercayai segala ramalan Jayabaya itu dengan sikap fatalis, ataukah menganggapnya sebagai upaya para pinisepuh zaman silam untuk memberi nasihat kearifan dalam mengelola Nusantara melalui bahasa simbolis yang sarat makna. Pelambang yang seyogianya membuat kita wasapada akan kemungkinan munculnya pemimpin yang tak pernah tulus mengabdi untuk rakyatnya. Juga, kemungkinan kembalinya kekuatan penjajah asing, seperti halnya VOC dan Belanda di awal kehadirannya. Tanda-tandanya sudah ada sekarang, banyak aset nasional yang sahamnya dikuasai asing. Tahun 2014, dengan demikian, bukanlah satu-satunya tahun yang perlu diwaspadai.
Disadur dari http://politik.kompasiana.com/2012/09/09/satrio-piningit/
0 komentar:
Post a Comment