Akhir-akhir ini...? gerakan terorime kembali membayangi kehidupan bernegara bangsa di Indonesia. Mungkin sudah banyak orang yang mengira bahwa terorisme sudah berakhir dengan terbunuhnya Noordin M Top dan tertangkapnya kaum teroris di Aceh beberapa saat yang lalu. Tetapi ternyata kaum teroris itu never die atau never ending. Mati satu tumbuh lainnya, patah tumbuh hilang berganti. Ketika yang satu mati, maka yang lainnya muncul menggantikannya.
Melalui sistem sel yang dikembangkannya, maka kaum teroris dengan mudah akan bermutasi vertikal. Jika pimpinannya tertangkap atau meninggal, maka yang dibawahnya akan menggantikannya. Demikian seterusnya. Sungguh sistem ini sangat menjaga eksistensi dan keberlangsungan gerakan terorisme yang militan itu.
Memang sungguh tidak masuk akal...?, ketika kaum teroris itu mengacak-acak Indonesia kita ini. Indonesia yang sedari semula memang kiranya didesain Tuhan untuk mengembangkan Islam yang damai, Islam yang moderat dan Islam yang rahmatan lil alamin, ternyata akhir-akhir ini akan dibelokkan ke arah Islam yang fundamental atau radikal bahkan Islam yang membenci dan menyakiti lainnya.?
Di tengah dunia yang semakin keras karena berbagai kompleksitas kehidupan ternyata ditambah lagi dengan kekerasan atas nama agama, yang tidak kalah sengitnya dengan kekerasan atas nama lainnya. Bahkan orang rela mati demi keyakinannya itu. Melalui doktrin jihad ofensif yang dikembangkan, maka dikesankan bahwa Indonesia adalah Darul Harb yang memang harus dimusuhi dan diperangi.
Islam Indonesia memang sudah sedari semula mengembangkan wataknya yang substansial. Dia bersifat komplementer dengan kehidupan masyarakat Indonesia secara umum. Relasi antara Islam dengan demokrasi dan modernitas adalah corak yang saling memberi dan menerima. Bukan corak berbenturan sebagaimana yang diusung oleh gerakan Islam fundamentalisme. Posisinya tidak saling berhadap-hadapan, akan tetapi simbiosis mutualisme.
Islam menjadi roh yang secara substantive memberi peluang masuknya demokrasi dan modernitas, tetapi tidak mencederai dan bahkan secara substansial memberi arah bagi demokrasi dan modernitas itu. Islam yang otoratif di dalam doktrin keesaan Tuhan tetap memberi peluang hubungan social yang seimbang antara satu golongan dengan golongan lainnya. Islam tetap mengajarkan agar menghargai keyakinan yang berbeda sekalipun. Meskipun, Inna al dina ‘indallah al Islam, tetapi tetap lakum dinukum waliyadin bahkan tidak ada paksaan dalam beragama.
Islam dengan demikian tidak bertentangan dengan NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Islam justru menjadi roh yang secara substantive mendorong agar implementasi kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan tetap dijiwai oleh Islam dengan cara mendorong tumbuhnya berbagai pengamalan beragama melalui peraturan yang benar, misalnya UU Perkawinan, UU Zakat, dan sebagainya yang secara social dan yuridis menjadi dasar bagi implementasi Islam di dalam kehidupan. Makanya, saya sependapat dengan ungkapan Kyai Sahal Mahfudz bahwa untuk mengimplementasikan Islam di Indonesia tidak memerlukan negara Islam.
Sayangnya bahwa Islam fundamental tersebut sudah masuk ke dalam berbagai jaringan di Indonesia. Jaringan politik, social dan ekonomi. Di dalam jaringan politik mereka telah masuk ke dalam partai politik, parlemen, hingga birokrasi. Di dalam jaringan social mereka telah masuk ke dalam berbagai lembaga social, pendidikan dan keagamaan. Sedangkan di dalam jaringan ekonomi, mereka telah masuk ke dalam unit-unit usaha yang melembaga. Semua ini menandakan bahwa jaringan Islam radikal telah menjadi bagian dari negeri ini.
Secara sosiologis, bahwa keberadaan mereka telah menjadi realitas social yang fungsional. Memiliki pimpinan, anggota dan jaringan kelembagaan yang sangat kuat dan militan. Sehingga keberadaan mereka juga tidak bisa dianggap remeh. Kita tentu masih ingat, dukungan yang diberikan oleh eksponen Islam fundamental terhadap kematian teroris beberapa saat yang lalu, Azahari, Noordin M Top dan Umar Patek.
Itulah sebabnya, mewaspadai terhadap munculnya gerakan Islam garis keras yang mewajibkan para anggotanya untuk melakukan kekerasan melalui bom dan sebagainya mestilah harus menjadi prioritas bangsa ini.
Sebagai bangsa yang mengagungkan kedamaian, kerukunan, harmoni dan keselamatan, tentu tindakan terror adalah tindakan yang dapat disebut sebagai extra ordinary crime yang mesti menjadi musuh bersama. Jadikan dia common enemy agar bangsa ini selamat ke tujuan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
0 komentar:
Post a Comment